Senin, 13 September 2010

TRADISI – TRADISI DI PULAU BALI

A. Sesaji di Pulau Bali
Pulau Bali mempunyai adat istiadat jawa yang kuat. Sebagian besar penduduk bali percaya bahwa pohon-pohon besar mempunyai kekuatan gaib karena dihuni oleh makhluk gaib. Hal itu didasarkan karena kita hidup didunia ini berdampingan dengan alam lain yang tak nampak di pandang mata,sehingga kita harus menghormati makhluk tersebut (tidak mengganggu). Sehubungan dengan hal tersebut,maka disetiap pohon-pohon besar pasti terdapat sesaji sebagai tanda penghormatan,meminta keselamatan dan rizki. Tak hanya itu pohon-pohon besar juga diselubungi kain kotak-kotak berwarna putih dan hitam. Maksud dari kain berwarna putih dan hitam tersebut ialah sebagai simbol bahwa hidup didunia ini ada putih(kebaikan) dan hitam(kejahatan). Keduanya saling berdampingan dimana ada kejahatan pasti ada kebaikan untuk melawannya dan sebaliknya setiap ada kebaikan pasti ada kejahatan yang harus dihentikan. Seperti dalam tari barong dan keris yang mengisahkan antara kebajikan dan kebatilan.

B. Bayi Ajaib.
Terdapat patung bayi raksasa yang dipercaya penduduk sekitar bahwa patung tersebut adalah patung ajaib. Patung tersebut dapat menangis dan tertawa pada malam hari,hal ini sesuai dengan mengakuan warga sekitar. Ajaibnya,setiap bayi tersebut menangis itu merupakan pertanda buruk bagi penduduk sekitar (misal pertanda kematian atau kecelakaan) dan sebaliknya jika bayi tersebut tertawa maka pertanda baik.

C. Tumpek Pengatag
Dalam konsepsi Hindu, Tumpek Pengatag dikenal juga sebagai
Tumpek Wariga, Tumpek Uduh atau Tumpek Bubuh. Upacara dipersembahkan
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara,
Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai
pepohonan. Memang, menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan
tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang
Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang
Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh
tumbuhan. Dengan demikian, sejatinya, perayaan hari Tumpek Pengatag
memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan
menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan
penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada
alam itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan
tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh
kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai
dari pangan, sandang hingga papan. Itu yang menyebabkan tumpek Pengatag jauh lebih dikenal dengan nama Hari Bumi Ala Bali.

D. Pengelipuran
Pengelipuran adalah sebuah desa kecil di pinggiran kota sejuk, Bangli, Bali sekitar 40 km dari kota Denpasar. Secara dinas Desa Pekraman Pengelipuran termasuk Kelurahan Kubu. Dihuni sekitar 200 kepala keluarga yang menempati sekitar 76 rumah keluarga atau satu rumah ditinggali sekitar 3 kepala keluarga. Kebanyakan dari mereka adalah petani. Meski sekarang sudah mulai ada yang menjadi pegawai negeri atau bekerja di sector pariwisata lainnya.
Pengelipuran adalah salah satu desa tradisional atau desa tua di Bali atau sering disebut Bali Aga atau Bali Mula. Tapi di desa kecil ini tradisi begitu kukuh dipegang oleh masyarakatnya. Terutama yang berkaitan dengan penataan pekarangan rumah. Di tengah gempuran arus modernisasi, keteguhan masyarakat Pengelipuran tampak dari rapinya penataan kawasan hunian masyarakat setempat.Desa pengelipuran laksana sebuah taman yang dibentuk dengan arsitektur maha sempurna.
Penataan rumah dan pekarangan sangat ketat dan mengikuti ketentuan Asta Kosala-Kosali, Asta Bumi, Sikut Karang dan berbagai aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis lainnya. Karenanya, setiap pekarangan dan rumah di Desa Pengelipuran selalu mempunyai pola atau tatanan yang sama. Posisi paling barat ditempati oleh sebuah joli yaitu tempat tinggal utama. Dimana sebagian besar penghuni rumah tinggal disini. Juga dimanfaatkan untuk menerima tamu.
Masuk lebih dalam lagi akan dijumpai pewaregan (dapur) di bagian utara dan bale saka nem di sebelah selatan. Dapur memang berfungsi sebagai dapur dan tempat tinggal orang tua, dan kadang dipakai sebagai atempat mekemit (menyucikan diri, tapa brata) ketika seseorang dari keluarga yang tinggal di pekarangan itu melakukan suatu ritual adat keagamaan. Sedangkan bale saka nem lebih banyak berfungsi untuk kegiatan manusia, yaitu ritual yang berkaitan dengan upacara terhadap manusia, seperti metatah dan tempat jenazah ketika salah seorang penghuni pekarangan itu meninggal dunia.
Lesung di sebelah utara, berdampingan dengan lumbung di sebalah selatan. Lesung di sini ternyata diberi tempat khusus dan diberi atap. Fungsinya selain sebagai sarana untuk menumbuk padi, jagung atau bahan makanan lainnya, di sekitar lesung juga dimanfaatkan untuk mebat atau metanding ketika akan melaksanakan suatu kegiatan/ritual keagamaan. Diseberangnya berdiri lumbung yang dipakai sebagai tempat menyimpan hasil pertanian terutama gabah.
Paling ujunng atau paling timur adalah bangunan sanggah yang hamper berdampingan dengan kamar mandi. Mungkin kamar mandi merupakan hasil akulturi dari budaya modern. Karena sebelumnya masyarakat Pengelipuran lebih banyak memanfaatkan aliran sungai untuk kebutuhan MCK-nya.
Tradisi-tradisi lainnya pada umumnya sama dengan tradisi desa adat lainnya di Bali. Mulai dari perangkat desa adat dan system pemerintahan desa adat semua hampir sama dengan system pemerintahan desa adat pada umumnya. Jika di Tenganan konon wanita Desa Tenganan tidak diijinkan kawin keluar desa Tenganan, di Pengelipuran tradisi ini tidak ada.
Semangat masyarakat disana bukan cuma nampak dari cara mereka menata pekarangannya. Mereka juga sangat aktif mempertahankan tradisi-tradisi lainnya seperti seni tabuh. Jari-jari anak-anak lincah memainkan panggul gangsa menari di atas gangsa menghasilkan tetabuhan Bali.

Tidak ada komentar: